"Trung-trung!" Suara yang Menyimpan Sejarah
Pernahkah Anda mendengar suara tabuhan yang ritmis, berpadu dengan kisah-kisah masa lampau yang disampaikan lewat lisan? Jika ya, mungkin itu adalah Kentrung, kesenian tradisional yang kini mulai terlupakan. Nama “Kentrung” sendiri berasal dari bunyi khas alat musik tradisional yang mengiringi pertunjukan ini: trung-trung-trung.
Di balik suara yang sederhana itu, tersimpan kisah besar tentang penyebaran agama Islam di Pulau Jawa, perjalanan kerajaan-kerajaan masa silam, hingga cerita para nabi yang disampaikan lewat sastra lisan.
Kentrung: Dakwah Lewat Nada dan Cerita
Seni Kentrung berasal dari daerah Tuban, Jawa Timur, dan berkembang pesat pada masa Walisongo—tokoh penting dalam penyebaran Islam di Jawa. Metode dakwah mereka yang penuh adaptasi budaya membuat ajaran Islam mudah diterima masyarakat lokal. Salah satunya adalah dengan menggunakan seni bertutur dan musik tradisional sebagai media edukasi spiritual.
Melalui Kentrung, masyarakat diajak memahami nilai-nilai Islam, sejarah para wali, serta kisah-kisah heroik masa kerajaan dalam balutan budaya Jawa. Inilah contoh nyata bagaimana agama dan budaya bisa bersatu dalam harmoni, bukan dalam pertentangan.
Kentrung di Blitar: Sisa-Sisa yang Masih Bertahan
Di Kota Blitar, Mbah Adam Sumeh, seorang seniman sepuh dari Desa Dayu, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar, masih setia menampilkan Kentrung meski usianya sudah mencapai 70 tahun. Dalam pementasan di Amphitheater Perpustakaan Proklamator Bung Karno (29 Juni lalu), ia menghidupkan suasana malam dengan kisah bertutur yang kuat dan penuh makna.
Menurut Imam Riyadi dari Dewan Kesenian Kabupaten Blitar (DKKB), kelompok Kentrung yang dipimpin Mbah Adam adalah satu-satunya yang masih aktif di Blitar. Hal ini menjadi sinyal kuat bahwa warisan budaya ini berada di ujung tanduk jika tidak segera dilestarikan.
Isi Cerita dalam Pementasan Kentrung
Pementasan Kentrung biasanya membawa cerita yang mengandung nilai moral dan sejarah, seperti:
-
Babat Tanah Jawa
-
Kisah para Wali
-
Perjalanan kerajaan Islam di Nusantara
-
Cerita para Nabi dan tokoh agama
Semuanya disampaikan dengan gaya bertutur yang khas, diselingi humor, nada dramatik, dan diiringi tabuhan terbangan dan kendang yang mendayu.
Evolusi: Dari Monolog ke Ansambel
Jika dulu Kentrung hanya dimainkan oleh satu orang yang sekaligus bertutur dan memainkan alat musik, kini seni ini mengalami modifikasi format. Ada versi yang menggunakan beberapa pemain, pengiring musik tambahan, bahkan tata panggung yang lebih modern.
Namun, nilai asli dan pesan-pesan spiritual tetap dijaga, menjadikan Kentrung sebagai seni yang fleksibel namun berakar kuat pada tradisi.
Mengapa Seni Kentrung Perlu Diselamatkan?
Dalam era digital yang serba cepat, seni seperti Kentrung memang tidak lagi menjadi pilihan utama hiburan. Tapi, bukan berarti seni ini tidak penting. Bahkan sebaliknya:
-
Kentrung adalah cermin sejarah dan spiritualitas masyarakat Jawa.
-
Ia mengajarkan nilai-nilai luhur secara menyenangkan.
-
Ia menghubungkan kita dengan akar budaya dan identitas lokal.
Tanpa upaya pelestarian yang serius, Kentrung hanya akan tinggal nama dalam buku sejarah.
Ancaman Kepunahan
Di berbagai daerah lain seperti Kediri, Tulungagung, hingga sebagian Jawa Tengah, Kentrung mulai hilang dari ruang-ruang publik. Yang tersisa hanyalah para generasi tua yang sudah sepuh. Mereka masih menyimpan kemampuan bertutur, tapi tidak banyak yang bisa atau mau mewariskannya.
Kondisi ini menciptakan jurang generasi dalam budaya—dimana anak muda tak lagi kenal, apalagi bangga, terhadap kesenian lokalnya sendiri.
Peran Anak Muda dan Komunitas
Melestarikan Kentrung tidak bisa dilakukan sendirian. Dibutuhkan sinergi antara seniman, komunitas budaya, pemerintah, dan terutama anak muda. Berikut beberapa langkah nyata yang bisa dilakukan:
-
Belajar langsung dari maestro seperti Mbah Adam Sumeh.
-
Merekam dan mempublikasikan pementasan dalam format digital.
-
Membuat event budaya bertema Kentrung yang dikemas modern.
-
Mengintegrasikan Kentrung ke dalam kurikulum lokal di sekolah.
Dengan langkah-langkah ini, kita tidak hanya menjaga kesenian tetap hidup, tapi juga menghidupkannya kembali dalam wajah baru.
Penutup: Jangan Biarkan “Trung-Trung” Terdiam
Seni Kentrung bukan sekadar pertunjukan, ia adalah nyawa budaya lokal. Ketika satu seni punah, kita kehilangan bagian dari identitas kita sebagai bangsa.
Mari jadikan kisah Mbah Adam dan kelompok Kentrung di Blitar sebagai inspirasi dan panggilan untuk ikut menjaga, mencintai, dan mewariskan seni ini kepada generasi mendatang. Agar suara “trung-trung” itu tidak hanya jadi gema masa lalu, tapi tetap hidup dalam detak budaya hari ini.
Bagikan artikel ini jika kamu peduli budaya lokal!
Karena pelestarian tidak dimulai dari panggung besar, tapi dari kesadaran kecil kita untuk tidak melupakan.